Menghadapi
diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah pada 1 Januari 2001 berbagai upaya untuk mengidentifikasi
kewenangan pengelolaan lingkungan hidup terus bergulir. Melalui
dialog, diskusi dengan berbagai pihak terus dilakukan oleh Kantor
Meneg LH dan Bapedal. Salah satunya, pada tanggal 20 Desember 2000,
Meneg LH/Kepala Bapedal mengadakan diskusi tentang pengelolaan
lingkungan dalam otonomi daerah dengan lembaga swadaya masyarakat,
pers dan pemerintah daerah (DKI Jakarta) serta Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah (DPOD).
Mengawali diskusi
Meneg LH/Kepala Bapedal menyampaikan, bahwa menghadapi
diberlakukannya otonomi daerah, telah dilakukan serangkaian
persiapan antara lain dialog dengan pemerintah daerah guna
memperkuat aspek kelembagaan lingkungan hidup daerah dan menyiapkan
serangkaian training.
Disampaikan pula,
saat ini telah disiapkan tujuh program prioritas yang akan
ditawarkan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Ketujuh program ini merupakan program yang telah ada yang
disesuaikan dengan era otonomi daerah. Kepada Presiden diusulkan
agar dalam pidato akhir tahunnya disampaikan pula akan pentingnya
perhatian terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup disamping
peningkatan ekonomi.
Hal penting lain
disampaikan oleh Menteri bahwa otonomi daerah bukan hanya era
pelimpahan kewenangan tetapi juga era civil
society, masyarakat madani. Poros ini harus makin kuat
mengontrol pemerintah baik pusat maupun daerah. Masyarakat madani
juga bisa membantu pemerintah daerah agar aspek lingkungan hidup
diperhatikan dan mendorong membangun good
environmental governance sehingga otonomi daerah bukan merupakan
malapetaka akan tetapi menjadi tujuan bersama. Dalam jangka panjang,
4-5 tahun yang akan datang, masyarakat madani dapat berperan
membantu partai politik agar mempunyai visi lingkungan.
Dalam masalah
kelembagaan, Meneg LH telah berdiskusi dengan Mendagri dan Otda
serta Meneg PAN dan sepakat bahwa Bapedalda Propinsi tetap
dipertahankan. Mengenai status Bapedal Regional untuk dipertahankan,
90% disetujui dengan tanpa batas waktu. Sedangkan status Bapedalda
Kabupaten/Kota juga tetap dipertahankan bahkan ada signal
pembentukan Bapedalda yang belum ada terutama untuk daerah dengan
masalah lingkungan tinggi.
Dalam kesempatan
ini Deputi I menambahkan berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan
dalam menghadapi otonomi daerah yaitu:
-
Menyusun secara rinci kewenangan lingkungan hidup melalui
dialog, konsultasi dengan berbagai pihak;
-
Merestrukturisasi organisasi Kantor Meneg LH dan Bapedal
untuk merespon otonomi daerah. Dalam struktur organisasi ini,
Bapedal Regional tetap dipertahankan, Bapedalda Propinsi sebanyak 27
dipertahankan dan memfasilitasi pembentukan Bapedalda Propinsi lain
serta 163 Bapedalda Kabupaten/Kota.
-
Melakukan penataan sarana dan prasarana: desentralisasi
peralatan laboratorium lingkungan dan instrumen pemantau mutu udara
di 10 kota, dalam pendanaan: menghidupkan fasilitas Inpres Pedal
menjadi dana alokasi khusus dan memfasilitasi bantuan asing kepada
kabupaten/kota.
Beberapa masukan
penting dalam dialog antara lain Bapak Syahrir dari DPOD
menyampaikan dalam pelimpahan kewenangan ke daerah sebagaimana
dicantumkan dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 disertai
dengan SDM, sarana, prasarana dan pembeayaan karena tujuan otonomi
daerah adalah empowering
daerah. Menghadapi masalah lingkungan hidup dalam otonomi daerah,
pers perlu mengambil bagian dalam masyarakat madani. Pers bisa
memberikan pendidikan masalah lingkungan, menyuarakan eksekutif dan
mengarahkan ke hal-hal yang positif.
Menurut Pak Ismid
dari Kehati menyampaikan untuk memudahkan masyarakat madani
berperanserta diusulkan agar Kantor Meneg LH/Bapedal membuat peta
daerah rawan lingkungan. Sedangkan masukan dari AMAN (Aliansi
Masyarakat Adat Nasional) menyampaikan sebenarnya pemerintah pusat
belum jujur dalam pemberian otonomi kepada daerah karena masih
banyak peraturan di pusat yang masih kuat.
|