Sepanjang teknologi lingkungan tak dikuasai
dengan baik, masalah lingkungan akan tetap terpinggirkan. Tanpa
penguasaan dan penerapan teknologi, masalah lingkungan akan tetap
menjadi faktor beban biaya yang tak kecil.
Sekitar
26 tahun yang lalu, EF Schumacher menerbitkan sebuah booklet
berjudul ''The Age of Plenty, A Christian View'' (The Saint
Andrew Press, Edinburgh: 1974). Buku kecil ini memuat kritik
Schumacher terhadap kemakmuran eksploitasi, bukan saja terhadap
manusia, tetapi terlebih lagi terhadap alam. Sebagaimana pandangan
para pemikir lain yang selalu kritis terhadap kemajuan iptek,
Schumacher mengemukakan, teknologi dan industri harus ''mengabdi''
kepada kelangsungan kehidupan manusia dan alam.
Memanglah, hingga kini, kemampuan teknologi dalam
memecahkan masalah produksi mencatat tahap ''keajaiban''. Percakapan
di seputar kloning yang beberapa waktu lalu ramai bergulir di
media massa, adalah contoh nyata ''keajaiban'' itu. Namun patut
digarisbawahi, tak mudah pula menutup-nutupi kengerian yang
mengiringinya: ia menjadikan manusia sekadar benda yang boleh
diutak-atik dan dikontrol, dan juga ''kejam'' terhadap alam karena,
antara lain, memanfaatkan ratusan atau bahkan mungkin ribuan
binatang sebagai kelinci percobaan.
Dalam hal perubahan masyarakat dan perkembangan
teknologi kelihatannya terdapat hal yang kontradiktif. Awalnya
teknologi diciptakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia,
mempermudah segala aktivitas yang dilakukan oleh umat manusia dan
memelihara kondisi lingkungan sekitar agar tetap dapat memberikan
sumber daya yang memadai bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Namun, dalam perkembangan teknologi justru menjadi pemicu pertama
penurunan kualitas lingkungan dengan sangat drastis. Penggunaan
bahan bakar fosil untuk menjalankan industrialisasi sejak masa awal
revolusi industri, memicu penggunaannya secara besar-besaran hingga
mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan dan penipisan sumber
daya alam bagi generasi berikut. Kalau sebelum muncul masyarakat
industri, hampir 80 persen benda yang digunakan manusia berasal dari
hewan dan 20 persen dari mineral, industrialisasi mengubah
kecenderungan itu. Ia mulai terpusat pada cadangan bumi berupa
energi dan material tak terbarui, seperti bahan baku fosil dan
mineral. Di sinilah kapitalisme industrial mengeruk seluruh bahan
baku tanpa mempedulikan akibat pada lingkungan, sehingga pada abad
ke-19, Inggris telah menjadi ''bengkel dunia''. Tidak selesai sampai
di situ, asap dan buangan pabrik meracuni udara, air, dan tanah. Dan
bahan-bahan kimia yang dibuang ke lingkungan berdampak berat bagi
pekerja dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Akibat lain
revolusi industri menghabisi kekayaan alam dengan laju yang
mengerikan, menghancurkan hubungan dengan tanah, dan menyingkirkan
petani ke belakang. Sementara itu, populasi membengkak, teknologi
menguasai lingkungan, dan kekayaan material meningkat.
Imbalannya?Kerusakan alam yang terus memburuk kondisinya.
Begitulah, pada masanya seakan-akan laju
perkembangan teknologi tak pernah bisa berjalan beriringan dengan
keperdulian pada lingkungan hidup.
Namun, seiring dengan makin menguatnya
keperdulian global pada masa depan bumi, telah membawa pergeseran
paradigma dalam hubungan teknologi dan lingkungan hidup. Awalnya
adalah seorang biolog Amerika, Barry Commoner yang di tahun 1962
mengingatkan resiko makin meningkatnya polusi. Menurut Barry, mata
rantai ekologi terputus akibat industri dan digantikannya produk
alami dengan bahan sintetis. Sejak itu pula (1962-1970-an), banyak
kalangan termasuk industriawan berusaha ramah dengan lingkungan.
Kemudian muncul kebutuhan untuk mengembangkan teknologi yang dapat
menjaga tingkat keberlanjutan lingkungan beserta dengan segala
sumber daya yang dimilikinya. Teknologi tidak lagi melulu dilihat
sebagai alat eksploitasi, tetapi lebih sebagai alat pemeliharaan
lingkungan beserta dengan sumber dayanya agar kehidupan umat manusia
dan lingkungan alam dapat berkelanjutan. Dengan kata lain,
perlindungan lingkungan seraya meningkatkan kualitas hidup dan
memelihara kemampuan bersaing, memerlukan perubahan teknologi. Pada
umumnya teknologi baru ini lebih efisien. Artinya, teknologi ini
memerlukan lebih sedikit input, termasuk energi, per satuan output,
serta kurang mencemari dibandingkan teknologi lama yang
digantikannya. Singkatnya, telah tumbuh perubahan orientasi
pembangunan dengan teknologi baru berwawasan lingkungan. Dalam
pembangunan berwawasan lingkungan, muncul semboyan: produce more
with less resources, with less energy and with less waste. Salah
satunya tampat lewat didirikannya Pusat Teknologi Lingkungan Hidup
Asia-Eropa. Pusat ini menyatukan pemakai dan pemasok dalam bidang
riset dan teknologi lingkungan hidup. Pusat ini akan bekerja dalam
masalah-masalah lingkungan hidup terpenting yang kita hadapi,
misalnya masalah kota besar dan teknik untuk membersihkan polusi.
Perkembangan ini mengikis pendekatan tradisional
dalam memandang hubungan industri dengan teknologi. Pendekatan
tradisional melihat bahwa industri mengakibatkan masalah lingkungan
dan mencoba mencari jalan keluar yang bertanggung jawab untuk
meminimalkan kerusakan yang dapat diakibatkan. Sebaliknya,
pendekatan yang didasarkan pada teknologi yang bersih seharusnya
mencari cara proses produksi yang dapat meniadakan atau mengurangi
masalah yang mungkin terjadi sejak awal, sebelum permasalahan yang
berkaitan dengan masalah lingkungan muncul. Misalnya, lewat
pendekatan minimalisasi limbah dan ''dematerialisasi'', dengan kata
lain telah terjadi pergeseran dari pengendali polusi ke pencegahan
polusi. Pengendali polusi berarti membersihkan limbah setelah limbah
tersebut terbentuk sebagai sisa proses produksi. Sedang pencegahan
polusi memfokuskan diri pada peminimalan atau penghindaran dari
limbah sebelum limbah tersebut tercipta. Peningkatan teknologi
membuat ekosistem secara alami menjadi lingkungan hidup buatan (manmade
environment). Teknologi akan merombak lingkungan dengan limbah.
Jasad renik tidak mampu lagi mendekomposisi limbah dalam ekosistem.
Limbah diemisi dari sistem daur ulang dan terjadilah tragedi polusi
udara, tanah, air dan seluruh ekosistem. Ekosistem alami akan
menyerapnya kembali, namun manmade environment tidak mampu.
Namun, dalam dekade terakhir ini, bioteknologi berhasil menemukan
dekomposer yang lebih cepat, sehingga teknologi inilah yang perlu
kita kembangkan lebih lanjut, agar keseimbangan ekosistem terkoreksi
dan kualitas hidup manusia tertolong.
Keharusan meningkatkan penguasaan teknologi
lingkungan itu tak terbatas pada teknologi pengolahan limbah dan
penerapan proses daur ulang. Tapi juga mencakup penguasaan teknologi
rekayasa, dari proses produksi hingga teknologi pabrikasi suatu
industri yang diandalkan. Bagi kita di Indonesia, ini jelas sangat
penting karena selama ini hampir seluruh industri di sini adalah
hasil turn key, khususnya pada jenis industri kimia. Salah
satu bukti penguasaan dan penerapan teknologi lingkungan yang dapat
mengubah faktor cost menjadi benefit tak harus selalu
berupa rekayasa teknologi canggih. Beberapa dapat berupa teknologi
tepat guna. Namun jelas membuktikan penguasaan teknologi lingkungan
dapat mengubah pengertian yang selama ini berkembang, yakni faktor
kepentingan lingkungan identik dengan tambahan biaya.
Sayangnya, untuk kasus Indonesia, kebutuhan untuk
mengubah sistem teknologi sangat lambat dipahami oleh industriawan
kita. Pemahaman tentang pentingnya mempertahankan kualitas
lingkungan yang baik, terasa kurang dipahami oleh kaum industrialis
kita. Mereka kebanyakan tetap lebih suka being trader.
Sebagai pedagangan mereka umumnya tidak mau mengembangkan teknologi
berwawasan lingkungan. Karena tanpa melakukan itu pun, mereka merasa
tetap mendapat untung, walau harus dengan jalan merusak lingkungan.
Namun kemudian, akibat perubahan permintaan pasar yang lebih tanggap
terhadap lingkungan, perkembangan teknologi yang memungkinkan
terciptanya teknologi yang lebih tanggap lingkungan dan semakin
berkurangnya input bahan baku (sumber daya) yang memadai
untuk melakukan sistem produksi dengan cara lama yang boros (tidak
tanggap lingkungan). Dengan teknologi yang dimiliki, suatu institusi
dalam tingkatan apa pun bisa mencari atau menciptakan produk yang
lebih baik dalam arti lebih tanggap terhadap lingkungan.
Memperpendek jalur distribusi juga dapat meningkatkan efisiensi dan
pengurangan penggunaan sumber daya alam yang berlebihan serta
meningkatkan kualitas, pesan dan tampilan produk, yang amat berguna
bagi aspek pemasaran produk atau perusahaan.
Menurut hukum ekonomi, penguasaan teknologi
lingkungan yang harus menjadi bagian terintegrasi dalam menjalankan
kebijakan pelestarian lingkungan tersebut, benar-benar dapat
dibuktikan secara ilmiah. Coba saja amati, dengan penerapan
teknologi maka faktor kualitas dan harga pasti akan meningkat. Ini
berarti akan tetap bisa mempertahankan nilai keuntungan walaupun
suatu kegiatan industri itu harus dibebani pula dengan biaya
pengolahan limbahnya. Dengan penerapan teknologi lingkungan, akan
didapat pula peningkatan kualitas produksi. Karenanya, penerapan
kebijakan mengintegrasikan penerapan teknologi lingkungan akan
menjamin pula meningkatkan kemampuan pebisnis Indonesia dalam
menerobos pasar ekspor. Misalnya, dengan menerapkan teknologi pada
sektor industri kehutanan akan dicapai standarisasi kualitas
berdasar ecolabelling dan ISO 14001 yang dapat menjamin
sukses menerobos pasar dunia.
(Sumber : SP Daily)